Sejarah dan etimologi Orang_Batak_Alas

Masyarakat Alas telah bermukim di Lembah Alas, jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia di mana keadaan penduduk Lembah Alas telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme.

Nama Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis, sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922:64) kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing) keturunan Raja Toga Pandiangan di Tanah Batak. Dia bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.

Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama Raja Lambing, keturunan dari Raja Toga Pandiangan di Tanah Batak. Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo, Selian di Tanah Alas, dan Solin di Tanah Pakpak (Suak Simsim). Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim.

Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo di mana keturunan dan pengikutnya adalah merga Sebayang dengan wilayah dari Tigabinanga hingga ke perbesi dan Gugung Kabupaten Karo.

Diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Selian. Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja Lelo (Raje Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang merupakan moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang ketiga adalah Raje Kaye yang keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah Alas (Effendy, 1960:36; sebayang 1986:17).

Setelah Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang istrinya merupakan putri dari Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk kepemimpinan Raja kepada Raja Dewa (menantunya). Yang dikenal dengan nama Malik Ibrahim, yaitu pembawa ajaran Islam yang termasyhur ke Tanah Alas. Bukti situs sejarah ini masih terdapat di Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik Ibrahim mempunyai satu orang putera yang diberi nama ALAS dan hingga tahun 2000 telah mempunyai keturunan ke 27 yang bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Banda Aceh, Medan, Malaysia dan tempat lainnya.

Ada hal yang menarik perhatian kesepakatan antara putera Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele) dengan putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Alas, tetapi adat istiadat yang dipunyai oleh Raja Lambing tetap di pakai bersama, ringkasnya hidup dikandung adat mati dikandung hukum (Islam) oleh sebab itu jelas bahwa asimilasi antara adat istiadat dengan kebudayaan suku Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.

Pada awal kedatanganya Malik Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian timur (Pasai) sebelum ada kesepakatan diatas, ia masih memegang budaya matrilinealistik dari Minangkabau, sehingga puteranya Raja Alas sebagai pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan merga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetap keturunannya menetap garis keturunannya mengikuti garis Ayah. Raja Alas juga dikenal sebagai pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh Alas.

Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang di kenal dengan Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur. Raja sekedang menurut beberapa informasi pada awal kehadirannya di Tanah Alas adalah untuk mencari orang tuanya yaitu Raja Dewa yang migran ke Tanah Alas. Raja Sekedang yang merupakan pertama sekali datang ke Tanah Alas diperkirakan ada pertengahan abad ke 13 yang lalu yang dikenal dengan panggilan Datuk Rambut yang datang dari Pasai.

Pendatang berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali dari Aceh pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan merga Beruh

Kempen Alas, Batak dan Gayo Van Daalen 

Orang Alas pada 29 Jun 1904 di hadapan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen (Digambar oleh Henricus Marinus Neeb)Kubu Alas Kuta Reh pada 14 Jun 1904 (Digambar oleh Henricus Marinus Neeb)

Pada peringkat akhir Perang Aceh pada tahun 1904, Gotfried Coenraad Ernst van Daalen memulakan kempennya ke Gayoland, Alasland, dan Batakland untuk menubuhkan kawalan kolonial Belanda ke atas mereka. Selepas merobohkan 7 kubu dan membunuh hampir 1300 penduduk di Gayoland, Korps Marechaussee te voet beliau muncul di lembah Alas pada 10 Jun 1904. Seorang tuan tempatan (kejukhun) di utara Alasland menyerah diri serta-merta, tetapi, sebagai tuan tempatan yang lain dari keturunan Gayon di selatan Alasland telah pun dibunuh di Gayoland oleh Gotfried Coenraad Ernst van Daalen, anaknya, pemangku tuan tempatan selatan, dan saudara lelaki tuan tempatan utara memutuskan untuk berhadapan dengan Belanda yang bukan Islam, membina 3 kubu atau kampung berkubu.

Pada 14 Jun 1904, tentera Belanda meruntuhkan kubu Kuta Reh, membunuh 313 lelaki pribumi, 189 wanita, dan 59 kanak-kanak, manakala 2 tentera Belanda terbunuh. Pada 20 Jun 1904, kemudian, mereka merobohkan kubu Likat, membunuh 220 lelaki, 124 wanita, dan 88 kanak-kanak, manakala seorang tentera terbunuh. Sesungguhnya, kampung Likat adalah salah seorang Gayon pendatang ke lembah Alas. Pada 24 Jun 1904, akhirnya, mereka merobohkan kubu Kute Lengat Baru, membunuh 338 lelaki, 186 wanita, dan 130 kanak-kanak, termasuk pemangku tuan tempatan selatan, manakala 3 tentera terbunuh. Pada 29 Jun 1904, Gotfried Coenraad Ernst van Daalen memanggil tuan tempatan utara dan anak tuan tuan tempatan selatan yang mati bersama semua ketua dan ketua Alas yang lain ke kampung Pedesi di hadapannya, untuk mengisytiharkan bahawa keseluruhannya. Alasland adalah milik Hindia Timur Belanda.

Semasa kempen ini, Henricus Marinus Neeb, seorang doktor tentera, mengambil banyak gambar, termasuk adegan pertempuran, berarak melalui hutan hujan tropika, aktiviti memancing tempatan, rumah tradisional, masjid, dan sebagainya.[3]